Sumbawa, 5 november 2025 -- Para Pelawan yang terdiri dari para pemilik sah atas bidang tanah di Dusun Ai Jati, Desa Mapin Kebak, Kecamatan Alas Barat, Kabupaten Sumbawa, dengan ini menyampaikan pernyataan sikap dan kronologi hukum secara resmi sebagai berikut:
Para Pelawan merupakan pemilik sah atas tanah obyek eksekusi, yang telah memperoleh sertifikat hak milik melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sumbawa. Sertifikat tersebut telah terbit secara sah sejak lebih dari 5 (lima) tahun yang lalu, dan hingga saat ini tidak pernah dibatalkan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sehingga memiliki kekuatan hukum tetap (Pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997).
Para Pelawan telah menguasai tanah tersebut secara terus-menerus sejak tahun 2000, melakukan pembangunan, membayar pajak PBB, serta terdapat fasilitas umum dan sosial, termasuk tanah wakaf yang berisi lebih dari 30 kuburan dan pembangunan pertokoan modern (Alfamart). Kondisi fisik tanah saat ini telah berubah total dibandingkan dengan keadaan 30 tahun lalu ketika putusan lama dijatuhkan.
Dasar eksekusi yang diajukan oleh para Terlawan adalah putusan lama Nomor 24/Pdt.G/1991/PN.SBB Jo. MA No. 1947 K/Pdt/1992 dengan permohonan eksekusi tahun 1996. Namun eksekusi tersebut pernah gagal dilaksanakan karena tidak adanya kesediaan aparat penegak hukum dan tidak dilanjutkan dalam jangka waktu yang sangat lama. Permohonan eksekusi baru diajukan kembali pada tahun 2024, yakni lebih dari 18 tahun setelah meninggalnya Suhema (10 Juni 2013), yang merupakan pihak dalam perkara lama. Langkah ini menimbulkan pertanyaan serius terkait kepastian hukum dan asas daluwarsa eksekusi.
Putusan MA No. 3194 K/Pdt/1984 (21 November 1985)
๐ “Permohonan eksekusi yang baru diajukan setelah 22 tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diterima karena sudah terlalu lama.”
Putusan MA No. 967 K/Sip/1973 (26 Februari 1975)
๐ “Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tetapi tidak dimohonkan eksekusinya selama 18 tahun tidak dapat lagi dilaksanakan, sebab hak eksekusi dianggap telah hapus demi kepastian hukum.”
Dalam proses perlawanan eksekusi (perkara No. 79/Pdt.Bth/2024/PN Sumbawa), Majelis Hakim PN Sumbawa tidak mempertimbangkan bukti-bukti penting dari para Pelawan, antara lain:
Sertifikat hak milik yang sah dan belum dibatalkan;
Surat keterangan tanah dan sporadik atas nama Umar bin Parku;
Bukti pembayaran pajak tanah sejak 1997 hingga kini(28 tahun);
Keterangan saksi yang menguatkan penguasaan fisik tanah sejak lama.
Sebaliknya, hakim mendasarkan pertimbangannya hanya pada putusan lama yang sudah berumur lebih dari 30 tahun, tanpa menilai kesesuaian alamat objek lama dan kondisi objek saat ini, yang jelas telah berbeda secara yuridis maupun fisik.
Terdapat ketidak konsistenan (inkonsistensi) Majelis Hakim PN Sumbawa:
Dalam putusan lama, jual beli antara Satar (Petugas Ukur BPN) dan Suhema disahkan meskipun tidak dilakukan di hadapan PPAT;
Namun dalam putusan perlawanan, jual beli antara Umar dan para Pelawan ditolak dengan alasan tidak memenuhi syarat formil dan materil, padahal jual beli tersebut telah dikonversi menjadi sertifikat PTSL dan tidak ada sengketa di PTUN.
Hal ini menunjukkan penerapan hukum yang tidak konsisten dan berpotensi merugikan masyarakat.
Surat pemberitahuan eksekusi PN Sumbawa tanggal 2 Oktober 2025 tidak mencantumkan seluruh pihak yang menguasai objek tanah (lebih dari 18 pihak), sehingga cacat secara formil dan berpotensi melanggar hak-hak hukum para pemilik sah.
Para Pelawan telah mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat, dan berdasarkan Pasal 195 HIR jo. SEMA No. 7 Tahun 2012, eksekusi seharusnya ditunda sampai upaya hukum tersebut memperoleh putusan tetap.
PERNYATAAN SIKAP :
Para Pelawan menolak dilaksanakannya eksekusi terhadap tanah yang telah bersertifikat sah milik masyarakat sebelum adanya putusan berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Tinggi.
Para Pelawan akan melanjutkan perjuangan hukum melalui proses banding dan upaya hukum lainnya, termasuk pengaduan ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas MA (Bawas) apabila ditemukan pelanggaran etik dan ketidaknetralan hakim.
Para Pelawan mendesak BPN Kab. Sumbawa, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah untuk menghormati dan melindungi hak masyarakat pemegang sertifikat sah yang diperoleh melalui program resmi negara (PTSL).
Para Pelawan percaya bahwa hukum harus menjadi pelindung hak rakyat kecil, bukan menjadi alat untuk menghidupkan kembali putusan usang yang tidak sesuai dengan fakta sosial dan hukum saat ini.
KATA BIJAK DAN RENUNGAN
"Hukum yang baik tidak hanya tertulis dalam undang-undang, tetapi hidup dalam keadilan yang dirasakan rakyatnya".
"Keadilan sejati bukanlah menghidupkan kembali masa lalu yang usang, melainkan melindungi hak yang nyata hari ini.”
“Sertifikat adalah tanda kepercayaan rakyat kepada negara. Jika negara mengabaikannya, maka yang goyah bukan hanya tanah, tapi juga kepastian hukum.”
“Putusan boleh lama, tetapi hukum tidak boleh buta terhadap kenyataan yang telah berubah.”
“Lucu, tanah yang sudah bersertifikat sah dari negara dianggap tidak sah… tapi putusan 30 tahun lalu justru dianggap segalanya.”
“Hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan mesin waktu untuk menghidupkan sengketa yang telah usang.”
“Ketika keadilan tertidur selama 30 tahun, seharusnya ia dibangunkan dengan kepastian hukum, bukan dengan palu eksekusi.”
“Entah siapa yang sedang dieksekusi, tanahnya atau logika hukumnya.”
“Jika sertifikat negara saja tidak dihormati, lalu kepada siapa rakyat harus percaya?”
“Kami tidak melawan hukum, kami memperjuangkan agar hukum benar-benar berpihak pada keadilan.”
“Tanah ini bukan sekadar benda, tetapi bukti bahwa negara pernah hadir melalui sertifikat. Jangan biarkan kehadiran itu dikhianati oleh putusan yang sudah usang.”
“Hukum yang tidak menyesuaikan diri dengan kenyataan hanya akan melahirkan ketidakadilan baru.”
( Zul )

Komentar