Labuhanbatu Selatan, 5 Juli 2025 -- Dinas Lingkungan Hidup dan Perikanan (DLHP) Kabupaten Labuhanbatu Selatan menjadi sorotan tajam setelah dinilai tidak tegas memberikan sanksi kepada PT. Gunung Selamat Lestari (GSL), yang terbukti mencemari lingkungan melalui pembuangan limbah cair ke Daerah Aliran Sungai (DAS) dan kawasan konservasi PT. Sifep/Tolan III Indonesia.
Limbah Melebihi Baku Mutu, Tapi Hanya Disanksi Administratif. Hasil uji laboratorium resmi DLHP Labusel yang dirilis ke publik pada 30 Juni 2025 menunjukkan bahwa limbah cair yang dibuang PT GSL mengandung zat pencemar jauh melebihi ambang batas baku mutu, di antaranya:
1. BOD (Biochemical Oxygen Demand): 8,05 mg/L (baku mutu: 3 mg/L)
2. COD (Chemical Oxygen Demand): 62,096 mg/L (baku mutu: 25 mg/L)
3. Fosfat (PO₄): 4,345 mg/L (baku mutu: 0,2 mg/L)
4. Amonia (NH₃-N): 2,782 mg/L (baku mutu: 0,2 mg/L)
Namun, meski pencemaran telah terbukti secara ilmiah, DLHP hanya menjatuhkan sanksi administratif kepada PT GSL.
> “Karena hasil uji menunjukkan limbah melebihi ambang batas IPLC, maka kami memberikan sanksi administratif kepada PMKS PT GSL,” ujar Kepala DLHP Labusel, Saparuddin, dalam pernyataan tertulis.
Langkah ini langsung menuai kecaman keras dari Gerakan Mahasiswa Labusel (GEMALAB) yang menilai DLHP tidak berpihak pada lingkungan maupun rakyat.
> “Ini bukan sekadar dugaan. Ini sudah terbukti melalui laboratorium resmi. Mengapa DLH hanya berani memberi sanksi administratif? Jika DLH tak sanggup, kami yang akan bergerak!” tegas Ketua GEMALAB, Risky Hasibuan.
Menurut GEMALAB, pencemaran ini telah mengakibatkan kematian massal ikan di daerah aliran sungai dan mengancam kesehatan serta kehidupan masyarakat, terlebih di musim kemarau saat air DAS menjadi sumber utama air bersih warga.
> “Kami tidak akan diam. Kami siap menggalang kekuatan rakyat dan membawa kasus ini ke jalur hukum jika DLHP terus bungkam,” tambah Arifin Rambe, Sekjen GEMALAB.
Tak hanya mahasiswa, media juga angkat bicara. Kabiro Media Kabar Investigasi labusel, Munawir Hasibuan, menyebut DLHP telah berulang kali gagal menindak tegas pelanggaran PMKS PT.GSL.
> “Perusahaan ini sudah berulang kali mencemari sungai. Tapi DLHP cuma berani kasih sanksi ringan. Kuat dugaan kami, jangan-jangan DLH sudah ‘diisi token’ oleh perusahaan."sindir Munawir kabiro kabar investigasi”.
Sanksi Harusnya Pidana, Bukan Sekadar Administratif Mengacu pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan seperti PT GSL seharusnya bisa dikenai sanksi pidana, bukan hanya administratif.
Pasal 104 UU PPLH:
> "Setiap orang yang membuang limbah tanpa izin dapat dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar."
Pasal 98 UU PPLH: Jika pencemaran menyebabkan kerusakan lingkungan atau kematian biota:
=> Penjara 3–10 tahun
=> Denda Rp3 miliar – Rp10 miliar
Atas ketimpangan ini, GEMALAB mengajukan empat tuntutan utama kepada pemerintah daerah dan aparat penegak hukum Labusel:
1. Pencabutan izin lingkungan PT GSL./Penutup PMKS PT.GSL
2. Penegakan hukum pidana lingkungan terhadap pimpinan PT GSL.
3. Evaluasi internal terhadap kinerja DLHP Labusel.
4. Keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan lingkungan.
Kini,Publik Menanti Ketegasan DLHP dan Aparat.Kini, sorotan publik mengarah ke DLHP Labusel dan aparat penegak hukum. Apakah mereka akan bertindak tegas, atau justru membiarkan perusahaan pelanggar lingkungan terus beroperasi?
Sip___NR hasib