PALI — Program pemasangan stiker resmi penerima bantuan sosial (bansos) yang digagas Dinas Sosial Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) bersama awak media justru mengungkap persoalan serius di lapangan. Alih-alih menjadi instrumen transparansi dan ketepatan sasaran, kegiatan ini membuka fakta pahit masih banyaknya penerima bansos yang tidak layak, sementara warga miskin yang seharusnya menjadi prioritas justru belum sepenuhnya menerima haknya.
Dalam pengecekan dan penempelan stiker kelayakan penerima bansos yang dilakukan langsung oleh Dinas Sosial Kabupaten PALI di Kelurahan Talang Ubi Barat, Kecamatan Talang Ubi, pada Senin (22/12/2025), ditemukan ketimpangan mencolok dalam pendataan. Sejumlah penerima yang terdaftar diketahui tidak memenuhi kriteria kemiskinan sebagaimana diatur oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia. Bahkan, beberapa di antaranya tercatat tinggal di rumah berkategori mewah, memiliki kendaraan roda empat, serta menunjukkan kondisi ekonomi yang mencerminkan keluarga mampu.
Temuan tersebut menimbulkan pertanyaan serius terkait akurasi data dan tanggung jawab aparat pendata di tingkat bawah. Fakta lapangan ini menguatkan dugaan bahwa proses verifikasi dan validasi tidak berjalan optimal, mulai dari tingkat RT hingga kelurahan dan kecamatan.
Ironisnya, persoalan ini terjadi meski Bupati PALI Asgianto telah mengeluarkan instruksi tegas melalui Surat Resmi Nomor 460/479/05/SOS/2025 tertanggal 23 Oktober 2025 tentang Pelaksanaan Verifikasi dan Validasi Data BNBA BLTS Kesejahteraan Sosial. Dalam surat tersebut, seluruh camat, lurah, dan kepala desa diwajibkan melakukan verifikasi dan validasi (verval) terhadap calon penerima bansos, menetapkan status layak atau tidak layak, serta menandatangani surat pertanggungjawaban atas hasil pendataan di wilayah masing-masing.
Bahkan, dalam surat itu ditegaskan batas waktu pengembalian hasil verval paling lambat 26 Oktober 2025 kepada Dinas Sosial Kabupaten PALI. Artinya, secara administratif, data penerima bansos seharusnya telah diverifikasi secara faktual sebelum bantuan disalurkan. Namun realitas di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Kondisi ini memunculkan dugaan kuat bahwa instruksi bupati tidak dijalankan secara sungguh-sungguh, atau proses verifikasi hanya dilakukan sebatas formalitas administrasi tanpa pendataan langsung ke lapangan. Akibatnya, penerima yang tergolong mampu masih menikmati bantuan, sementara warga miskin justru terpinggirkan, memicu kecemburuan sosial dan keresahan di tengah masyarakat.
Publik pun mempertanyakan efektivitas dan keabsahan surat pertanggungjawaban yang dibuat lurah dan kepala desa. Jika hasil verval masih menyisakan ketidaksesuaian yang mencolok, maka muncul pertanyaan mendasar: apakah dokumen pertanggungjawaban tersebut dibuat berdasarkan kondisi riil warga atau sekadar memenuhi kewajiban administrasi.
Gelombang kritik pun tak terelakkan, terutama diarahkan kepada petugas verifikasi yang dinilai lalai dan abai terhadap kondisi faktual masyarakat. Ketidakakuratan data bansos ini dinilai bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan menyangkut hak dasar masyarakat miskin yang sangat bergantung pada bantuan negara untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan adanya bukti surat resmi bupati tersebut, masyarakat menilai persoalan bansos salah sasaran di Kabupaten PALI bukan lagi sekadar persoalan data, melainkan mencerminkan lemahnya pengawasan dan evaluasi kinerja aparatur pelaksana di tingkat RT, desa, kelurahan, hingga kecamatan.
Masyarakat kini mendesak Bupati PALI Asgianto untuk bersikap lebih tegas, tidak hanya melalui instruksi tertulis, tetapi juga dengan melakukan evaluasi menyeluruh, audit data penerima bansos, serta pemberian sanksi tegas terhadap aparat yang terbukti lalai atau tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Transparansi, kejujuran, dan keberanian menyampaikan data yang sebenarnya menjadi tuntutan utama agar bantuan sosial benar-benar tepat sasaran dan tidak terus melukai rasa keadilan publik. [Nopriadi]

Komentar