Sekat Kasta Pejabat dan Rakyat PALI. Senandung di Balik Pagar Besi -->

Iklan Semua Halaman

Sekat Kasta Pejabat dan Rakyat PALI. Senandung di Balik Pagar Besi

Kabar Investigasi
Minggu, 23 November 2025

 



PALI -- Dalam malam yang baru saja dicuci oleh rinai hujan, ketika aroma tanah basah menyelimuti udara PALI, ribuan pasang mata dan hati menyerbu hamparan Gelora November. Mereka datang bukan untuk berdemonstrasi, melainkan untuk satu tujuan suci yang sama: mengejar sekeping kebahagiaan yang dijanjikan. Cahaya panggung telah menyala, memanggil massa untuk larut dalam gemerlap yang diharapkan menjadi denyut nadi baru bagi PALI. Minggu 23/11/2025.


Festival Candi Bumi Ayu, demikian tajuk perhelatan akbar itu, dideklarasikan sebagai sebuah ikhtiar megah untuk menenun kesejahteraan, sebuah janji kultural untuk mengangkat marwah Kabupaten PALI. Ia adalah magnum opus yang dirancang untuk rakyat, oleh rakyat, demi PALI yang lebih bermartabat.


Namun, di tengah keriuhan yang disulut dentuman musik dan sorot lampu neon, sebuah pertanyaan fundamental mulai mengambang, setajam belati yang menusuk keheningan batin: Festival Candi Bumi Ayu ini, hakikatnya milik siapa? Apakah ia sebuah cara yang private, sebuah persembahan eksklusif bagi segelintir kaum terpilih, ataukah ia benar-benar milik sah ribuan jiwa yang memadati lapangan?

Di sinilah pagar besi tak kasat mata itu mulai tampak.


Event agung ini, yang seharusnya menjadi piala hiburan kolektif, justru terkesan menjelma menjadi panggung tontonan ganda. Ironi yang menyayat adalah fakta pahit yang tersaji di depan mata.Rakyat menonton para pejabat yang sedang asyik menonton konser.


Di barisan paling depan, di kursi-kursi empuk yang terhampar seperti permadani kehormatan, para pemangku jabatan duduk dengan santai, menikmati setiap nada tanpa hambatan. Mereka adalah audiens utama, raja di singgasana sesaat. Sementara itu, di lapisan-lapisan belakang, berdesakan di sudut-sudut yang terpinggirkan, ribuan rakyat PALI harus puas menjadi penonton bagi para penonton—sebuah pertunjukan di dalam pertunjukan.


Pemandangan paling memilukan terpusat pada posisi rakyat PALI. Mereka, para pemilik sah hajat daerah ini, hanya bisa menyaksikan keagungan acara dari sisi samping panggung. Dari posisi yang serba terbatas, seperti tamu tak diundang yang diizinkan berdiri di beranda, bukan di ruang tamu utama. Apakah rakyat sengaj dikesampingkan?

Jawabannya mungkin tersurat dalam batas-batas yang dipasang. 


Rakyat memang tahu, hak mereka untuk mendekat hanya diizinkan sampai sebatas pagar besi yang dingin dan tegak membatasi. Garis demarkasi fisik ini seolah menterjemahkan sekat sosial-politik: di dalam adalah yang berhak, di luar adalah yang tertunda haknya.


Padahal, rakyat PALI adalah manusia yang punya hati, yang berhak merasakan kenyamanan, dan berhak untuk bersama-sama menikmati setiap getaran musik dan kegembiraan, tanpa harus merasa terpinggirkan. Mereka bukan sekadar latar belakang, bukan pula figuran yang bertugas menyemarakkan jumlah penonton.


Ini bukan tentang menyudutkan sosok atau jabatan tertentu. Ini adalah sebuah jeritan agar etika perayaan ditegakkan. Alangkah eloknya jika rakyat mendapatkan hiburan yang sepantasnya, yang setara, yang tidak membedakan kasta.


Sebab, sejatinya, di mata nilai kemanusiaan dan di bawah langit yang sama, baik penyelenggara, pejabat, maupun ribuan rakyat yang hadir, mereka semua adalah sama: anak-anak kandung PALI yang mendambakan kebahagiaan sejati. Jangan biarkan festival yang diagungkan ini justru menjadi monumen sunyi yang menegaskan adanya Sekat Kasta Pejabat dan Rakyat di jantung Bumi Serepat Serasan.


Rep : Nopriadi