Labuhan batu Utara -- Pengrusakan kawasan hutan mangrove di wilayah pesisir pantai Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhan batu Utara (Labura), menjadi ancaman serius terhadap ekosistem pesisir dan kehidupan masyarakat lokal. Salah satu kasus nyata terjadi di Kelurahan Tanjung Leidong, di mana kawasan hutan mangrove diduga telah dialihfungsikan menjadi lahan pertanian oleh oknum yang mengatasnamakan diri sebagai pemegang izin IUPHKm (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Kemasyarakatan) atas nama kelompok KTH Mardesa.
Beberapa waktu lalu, oknum tersebut bahkan tertangkap tangan Oleh POLHUT yang di dampingi oleh kasi penindakan dari KPH WIL III Kisaran,tengah menggunakan alat berat (beko) untuk menggusur kawasan mangrove, yang kami duga mau dialih fungsi menjadi lahan pertanian. meski kawasan tersebut seharusnya dilindungi sebagai penyangga lingkungan pesisir. Para nelayan tradisional mengaku kehilangan sumber penghidupan akibat kerusakan ekosistem laut dan menurunnya hasil tangkapan ikan.
Dampak Kerusakan Mangrove yang Makin Mengerikan
Kerusakan hutan mangrove tidak hanya berdampak pada lingkungan secara langsung, tetapi juga mengancam keberlanjutan hidup masyarakat pesisir. Di antara dampak paling serius yang dilaporkan:
Kerusakan Lingkungan: Menurunnya kualitas ekosistem pesisir, punahnya habitat dan jalur migrasi satwa, serta meningkatnya potensi abrasi pantai dan intrusi air laut.
Kehilangan Mata Pencaharian: Nelayan tradisional kehilangan penghasilan akibat turunnya populasi ikan dan biota laut lainnya.
Risiko Bencana: Abrasi, banjir rob, dan bencana ekologis lain semakin mengancam kawasan pemukiman penduduk.
Laporan Sudah Disampaikan, Namun Penegakan Hukum Mandek
Pada tanggal 20 Juni 2025, Gerakan Masyarakat Pemuda Revolusi (GEMPAR) telah melayangkan surat laporan resmi kepada Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatera Utara di Medan. Surat bernomor 40/A/GEMPAR/LBU/VI/2025 tersebut berisi kronologi lengkap dugaan perusakan mangrove oleh dua oknum berinisial KZ dan RS, termasuk dokumentasi lapangan dan saksi warga.
Namun, hingga saat ini, tidak ada tindakan nyata maupun balasan resmi dari pihak BPSKL. Sementara itu, ironi terjadi saat kedua terduga pelaku justru terlihat bebas mengikuti kegiatan lokakarya yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah, bertajuk “Penguatan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Ekosistem Pesisir dan Kebijakan Anti-SLAPP( STRATEGIC LAWSUITS AGAINST PUBLIC PARTICIPATION) ”.
“Kami sangat kecewa. Laporan sudah kami sampaikan secara resmi, tetapi tidak ada tindakan tegas. Yang lebih menyakitkan, para pelaku bisa leluasa ikut acara pemerintah seolah tidak terjadi apa-apa,” ujar Sulaiman Tanjung, Aktivis GEMPAR.
Desakan Publik untuk Penindakan Tegas
Masyarakat sipil dan aktivis lingkungan mendesak KLHK, BPSKL, dan APH (aparat penegak hukum) untuk segera turun tangan dan mengusut tuntas kasus ini. Ketidak tegasan terhadap pelaku perusakan lingkungan hanya akan memperburuk krisis ekologi di kawasan pesisir dan membuka peluang bagi perusak lingkungan lain untuk bertindak lebih jauh.
GEMPAR menyatakan siap membawa kasus ini ke jalur hukum lebih tinggi, termasuk ke Komisi Informasi, Ombudsman, dan bahkan Komnas HAM, jika tidak ada transparansi dan akuntabilitas dari lembaga negara yang seharusnya bertindak.
nr hasib