Labuhanbatu Selatan – Di tengah riuhnya langkah hukum menindak dugaan pencemaran lingkungan oleh PT GSL, sikap Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Labuhanbatu Selatan (DLHK Labusel) justru menuai tanda tanya besar. Bagaimana tidak, saat tim gabungan dari DLHK Provinsi Sumatera Utara dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut turun langsung ke lokasi pada 14 Juli 2025 lalu, DLHK Labusel justru tidak terlihat — seperti ditelan bumi.
Ironisnya, DLHK Labusel merupakan pihak pertama yang secara resmi merilis hasil uji laboratorium yang menyebutkan bahwa limbah PT GSL melebihi ambang batas baku mutu. Namun ketika proses hukum mulai berjalan, instansi ini justru memilih diam seribu bahasa. Publik pun mulai bertanya: ada apa dengan DLHK Labusel?
Kebisuan yang mencolok ini seolah menjadi kabut yang menyelimuti komitmen DLHK Labusel terhadap perlindungan lingkungan. Dugaan pun bermunculan. Apakah DLHK Labusel sedang menjaga “kenyamanan” pihak tertentu? Apakah suara mereka dibungkam oleh sesuatu yang lebih berharga dari integritas? "Token", kata yang kini beredar di ruang-ruang diskusi publik, bukan lagi sekadar benda, tapi simbol dari kompromi yang mencederai keadilan ekologis.
Arifin Rambe, Sekretaris Gerakan Mahasiswa Labuhanbatu Selatan (GEMALAB), dengan lantang mempertanyakan sikap DLHK Labusel. Ia menyoroti tidak adanya kejelasan sanksi terhadap PT GSL, meski hasil laboratorium DLHK sendiri sudah terang-terangan menyebutkan pencemaran. “Jika DLHK sendiri yang keluarkan hasilnya, lalu sekarang bungkam, itu artinya ada yang tidak beres,” tegas Arifin.
Publik berhak curiga. Sebuah instansi daerah yang seharusnya menjadi barisan terdepan dalam menjaga lingkungan justru absen saat rakyat butuh kepastian hukum. DLHK Labusel bukan hanya membisu, tapi seperti sengaja menghindar dari tanggung jawab. Mungkinkah ini bentuk loyalitas terhadap pelaku pencemaran, bukan kepada masyarakat?
Sementara itu, pihak Polda Sumatera Utara menyatakan proses hukum tetap berjalan dan saat ini menunggu hasil uji laboratorium dari DLHK Provinsi. Ini berarti, bola panas kini ada di level provinsi, dengan DLHK Labusel tersisih dari arena — secara sukarela atau disengaja, publik belum tahu pasti.
Hingga berita ini diterbitkan, DLHK Labusel masih belum memberikan satu pun pernyataan resmi terkait ketidakhadiran mereka. Sikap diam ini justru memperkuat spekulasi: mungkin benar, ada “token” yang lebih menggoda daripada kepedulian pada lingkungan dan masyarakat.
Jika benar begitu, maka kita patut bertanya ulang: siapa sebenarnya yang sedang mencemari Labuhanbatu Selatan — PT GSL, atau justru mereka yang diam saat bumi menjerit?
Penulis : NR hasib